Batak dan Melayu

BATAK DAN MELAYU

(Afiliasi yang berubah)


Siapa yang disebut Batak? Siapa yang disebut Melayu? Pertanyaan ini dapat dijawab sesuai dengan dinamikanya. Batak sudah pasti terbentuk secara evolusioner di Sumatera bagian Utara. Sedangkan Melayu mungkin terbentuk dari luar Sumatera. 


Jika dicoba dibuat pertanyaan lagi: di manakah layaknya ditetapkan pusat Batak? Di mana pula layaknya pusat Melayu? Tentu layak pusat Batak itu ada di Sumatera bagian Utara. Sedangkan layaknya pusat Melayu itu mungkin condong di sekitar Semenanjung. 


Nah, karena Melayu itu terbentuk di luar Sumatera maka Batak tidak mungkin dianggap membentuk Melayu yang ada di Sumatera. Atau sebaliknya, Melayu itu sudah terbentuk jauh hari di Sumatera lalu membentuk cabang Melayu lainnya di luar Sumatera. Itu bisa saja diperjelas dalam konteks sejarah Melayu, yang sesungguhnya bermula dari mana dan sosok pionirnya yang mana. 


Batak dan Melayu terkini adalah bentukan sejarah, dengan pembedaan yang kontras antara agama dan adat. Batak itu belum tentu Islam. Sedangkan Melayu sudah pasti Islam. Itulah citra antara Batak dan Melayu terkini sejak ada pembedaan kelompok suku dengan identitas agama. 


Dulu yang belum beragama Islam di pesisir dianggap Batak. Jika seseorang sudah beragama Islam disebut menjadi Melayu. Nalarnya sampai di situ. Sedangkan dalam perkembangannya Batak dengan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengannya tidak mengangkat persoalan agama menjadi pengikat kesukuannya. Sehingga jika mungkin seorang Melayu meninggalkan keIslamannya, dia bisa tetap menjadi Melayu atau tidak harus betafiliasi menjadi Batak.


Para pendatang dari negeri jauh di masa keramaian perdagangan di pesisir mungkin melihat Batak dan Melayu itu sebagai dua bentuk afiliasi, yang bisa dipilih secara jelas jika para pendatang itu harus beradaptasi dan berasimilasi. Namun beberapa dari kelompok kesukuan Batak di  pedalaman juga sudah ada yang menganut agama Islam sebelum mayoritas Batak kemudian memilih agama Kristen. 


Kontras antara Batak dan Melayu di Sumatera bagian Utara seperti dipertajam lagi dengan kehadiran dua agama itu. Padahal bukan demikian adanya. Penganut kedua agama itu menjadi satu irisan baru antara keutamaan adat atau agama. Minus penganut kepercayaan yang dianggap lebih netral merespon kedua agama itu dalam lingkungan kesukuan. 


Di salah satu kelompok suku Batak agama tertentu tidak jarang  menjadi ciri pembedanya pula dengan yang lain. Sehingga potensi mengungkap perbedaan itu lebih jauh dapat mengarah ke varian dan praktik adat yang katanya berbeda dari sononya. 


Di sana-sini yang disebut Batak itu tidak lagi secara frontal dihadapkan dengan realitas Melayu yang sudah Islam. Sedangkan Melayu praIslam hanya kenangan dalam sejarah saja. Melayu yang ingin diredefinisi mengalami kesulitan untuk menyatakan posisinya dalam keberagaman agama. Namun hanya mungkin dengan keberagaman perkawinan-suku dengan agama yang sama. 


Batak yang terbentuk secara evolusi itu juga tampaknya mengalami dinamika lain di masa pasca-kolonial. Sesuatu yang dianggap dulu dominan sudah berubah kondisinya. Dominasi baru menggantikan yang lama. Lalu mendorong perlunya gerakan diferensiasi. Diferensiasi itu dianggap lebih penting dibandingkan dengan citra-persamaan yang masih ada.


Diferensiasi itu memiliki jalannya sendiri. Hingga pilihan itu tidak harus jatuh kembali kepada pernyataan: Kami Batak atau Kami Melayu.